Grafik Harga Dinar dalam Rupiah dan Dollar

grafik harian

Performa Harga Dinar dalam Jangka Pendek & Panjang

Selasa, 18 Juni 2013

Memahami Makna “INVESTASI HAKIKI”

Saat signing buku “Think Dinar” dan “Think Gold” saya senang sekali menuliskan ‘pesan’ berbunyi “selamat memulai investasi hakiki”. Apa makna sebenarnya? Apakah investasi hakiki masih valid disematkan pada emas dan perak? Apalagi saat ini. Sebagian investor logam mulia sedang galau. Emas dan perak seperti kehilangan tenaga. Mereka yang risau ini biasanya adalah investor logam mulia pemula atau investor lama tapi bermain di pasar komoditas yang mengharapkan keuntungan jangka pendek dari transaksi maya.

Mari kita mulai kuliti dengan membahas “lawan” dari emas dan perak yaitu uang kertas. Uang kertas selalu menemui masalah ketika ditakar nilainya dengan benda dan jasa. Ini seperti menimbang apel di satu sisi timbangan dengan kertas di sisi timbangan yang lain. Apel tak pernah berubah banyak beratnya. Untuk membuatnya setimbang, perlu tumpukan kertas yang sangat banyak. Bahkan karena kertas itu dibuat makin tipis dan tak bermutu, perlu kertas yang terus lebih banyak lagi. Demikian kondisi uang kertas saat ini yang terus kehilangan daya beli. Perlu makin banyak uang untuk membeli benda yang sama meski di lembaran uang ditulis angka-angka yang semakin membesar. Angka yang tertulis itulah yang disebut nominal. Itulah ilustrasi dari inflasi yang kita alami sebagai bagian tak terpisahkan dan bumbu ekonomi. Daya beli beda lagi. Daya beli adalah nilai benda itu jika dipertukarkan dengan benda lain. Inilah yang sebaliknya secara stabil dimiliki emas dan perak. Nilai keduanya bisa saja tak naik tinggi, tapi tetap berharga untuk ditukar dengan barang dan jasa. Nilai keduanya bahkan secara konsisten naik melebihi inflasi, sehingga siapa pun yang menyimpan asetnya tidak pernah merasa rugi. Untuk menggambarkan ini, Al-Ghazali dengan sederhana menyebut emas dan perak “Bukanlah harga, tapi menjadi cermin yang mengambarkan harga-harga.”
Mari kita lanjutkan dengan fakta lain seputar emas (dan perak) sebagai “lawan” dari uang kertas yaitu depresiasi. Depresiasi adalah penurunan nilai tukar sebuah mata uang ketika diperbandingkan dengan mata uang negara lain, terutama reserve currency yang jadi patokan internasional seperti US$, Euro, atau Yen. Musibah besar yang terjadi di seputar nilai tukar ini misalnya pada 1997-1998 di mana Indonesia menjadi korban terbesar dari Krisis Moneter. Rupiah terjungkal lima kali ke bawah. Apa saja yang ditakar dengan US Dollar seperti utang, barang modal impor, termasuk emas menjadi 5 kali lebih mahal. Tak hanya itu, bursa saham rontok dan depresiasi Rupiah terhadap USD telah memicu hiperinflasi dan barang-barang lokal menjadi delapan kali lipat lebih mahal, dari inflasi normal 10% menjadi hampir 80%. Emas ketika itu tak mengalami kenaikan harga di pasar internasional, tetapi karena ditakar dalam US$ (US Dollar per Troy Ounce), maka nilainya naik 2,5 kali lipat dari Rp27.000 per gram menjadi Rp87.000 per gram. Apa yang kita simpan dalam bentuk investasi terutama di sektor keuangan tak sepi dari pengaruh depresiasi. Return di atas inflasi, misalkan 20%, di saat yang sama harus menghadapi penurunan nilai tukar rupiah hingga 30%, akan menyebabkan investasi kita tak mampu membeli atau ditukar barang apa pun alias kehilangan nilainya.
Pada berbagai laporan belanja emas banyak negara, Turki, Kazakhstan, Korsel, Irak dan Cina adalah yang paling banyak menambah cadangan emasnya sejak 2012. Termasuk saat emas sedang turun 2-3 minggu lalu? Ada apa? Tentu alasannya kuat. Apalagi jika bukan untuk melawan kelabilan cadangan devisa dalam bentuk mata uang asing. Karena kepercayaan akan kekuatan emas (dan perak) sebagai alat simpan yang hakiki. Yang selalu punya makna dan arti.
Follow @endykurniawan  dan @GeraiDinarPKL di Twitter dan baca buku “Think Gold – A-Z Investasi Emas” untuk belajar bagaimana “Membeli Masa Depan dengan Harga Hari Ini”

0 comments:

Posting Komentar