Oleh Muhaimin Iqbal (geraidinar.com)
Ketika
negeri Dinaria terbentuk oleh keinginan bersama rakyat dunia,
negeri-negeri geografis yang ada di dunia sedang berada pada puncak
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya - tetapi mereka
juga sedang berada dalam titik nadir dalam hal karakter rakyat dan para
pemimpinnya. Kebrutalan, keserakahan, kecurangan, korupsi, ketidak
adilan, jual beli hukum dan sejenisnya menjadi hal yang lumrah di
masyarakat saat itu. Hadirnya Sang Pemimpin yang menerapkan
Undang-Undang dari Sang Pencipta langsung menjadi harapan baru, tetapi
dari mana mulai membangun kembali karakter umat yang lagi luluh lantak
ini ?
Selain
system hukum, ekonomi, pendidikan, politik , pemerintahan dan lain
sebagainya yang pada waktunya akan diceritakan secara detil, Sang
Pemimpin ingin memulai dengan hal yang relatif lebih ringan tetapi
berdampak luar biasa pada karakter bangsa baru yang sedang dibangunnya,
mulai dari kepentingan semua rakyatnya, yaitu dari makanannya.
Kebrutalan
dan keserakahan rakyat dunia ternyata tidak terlepas dari kebiasaan
makan rakyat dunia ketika berada di titik nadir tersebut diatas.
Kebiasaan buruk ini terkait dengan cara perolehan makanan, distribusi
makanan, jenis makanannya itu sendiri sampai frekwensi berapa kali makan
dalam seharinya.
Cara
perolehan makanan yang buruk yang tidak halal menghasilkan anak-anak
yang sulit dididik. Anak-anak yang sulit dididik ini ketika dewasa akan
memperburuk tabiat dalam perolehan makanannya – lebih buruk dari orang
tuanya, otomatis anak-anak mereka akan lebih buruk lagi dan seterusnya.
Tanpa upaya membalik arah cara-cara perolehan makanan maka generasi demi
generasi akan terus mengalami degradasi karakter. Pengawasan pasar dan
perilaku pelaku ekonomi menjadi solusi untuk ini.
Distribusi
pangan yang tidak adil di seluruh dunia menyebabkan sebagian wilayah
dunia sangat kekurangan, sedangkan di wilayah lain berlebihan. Ini
menjadi sumber ekploitasi si miskin oleh si kaya. Solusinya negeri baru
membentuk badan yang mengelola distribusi pangan ini secara adil,
kelebihan produksi dari satu wilayah dibeli dengan harga yang baik oleh
negara dan didistribusikan ke daerah yang kekurangan juga dengan harga
yang baik.
Jenis-jenis
atau bahan makanan yang dimakan oleh rakyat menjadi perhatian khusus di
negeri baru Dinaria. Hal ini dilandasi oleh bukti-bukti yang kuat bahwa
karakter manusia sangat dipengaruhi oleh apa yang dimakannya. Beberapa
jenis makanan (dan minuman termasuk) bahkan dilarang untuk diproduksi
dan dijual di seluruh negeri.
Lebih
jauh pemimpin negeri memfasilitasi segala bentuk penelitian dan
pengembangan jenis-jenis makanan yang akan berdampak positif pada
perilaku manusia yang memakannya. Selanjutnya hanya makanan-makanan yang
terbukti berdampak positif ini yang boleh diproduksi dan disebarluaskan di masyarakat.
Melalui kampanye pemahaman yang luas tentang dampak makanan ini pada perilaku, saat
itu di negeri Dinaria - orang membeli makanan bukan lagi karena rasanya
yang enak ataupun harganya yang murah, tetapi pilihan pertamanya pada
seberapa kuat pengaruh positifnya pada perilaku baru kemudian faktor
rasa dan harga.
Masih
terkait dengan makanan, Sang Pemimpin dengan bantuan para ahli juga
menemukan bahwa masyarakat dunia sebelumnya yang selama beratus tahun
mempunyai kebiasaan makan sehari tiga kali adalah tidak ada dasarnya.
Bahkan kebiasaan makan tiga kali sehari ini menghasilkan generasi yang
tidak sehat karena tiga kali sehari perut diisi secara penuh.
Undang-Undang
yang sangat detil dari Sang Pencipta mengatur kegiatan makan minum ini
dikaitkan langsung dengan kegiatan peribadatan. Makanan yang sifatnya
fisik menjadi terkait langsung dengan ‘makanan’ yang sifatnya rohani.
Bahkan urutannya-pun diatur sedemikian rupa sehingga yang rohani
didahulukan sebelum yang fisik.
Dengan
pengaturan yang mengituti Undang-Undang ini, maka frekwensi makan bukan
lagi tiga kali sehari tetapi lima kali sehari dan dilakukan setelah
melaksanakan peribadatan wajib yang memang juga harus dilakukan lima kali sehari.
Dengan
frekwensi makan yang lima kali sehari ini membuat manusia tidak perlu
makan sampai kenyang setiap kali makan, makan secukupnya dan berhenti
sebelum kenyang – toh nanti sebelum lapar sudah jatuh waktunya untuk
jadwal makan yang berikutnya. Dengan pola makan yang demikian ruang di
dalam perut selalu terjaga seimbang dan umat manusia menjadi selalu
dalam kondisi fit untuk berbagai tugas yang diembankannya.
Revolusi
makanan dan pola makan inilah nantinya yang antara lain ikut menjadi
faktor pembeda dan menjadi pendorong keunggulan penduduk negeri Dinaria
dibandingkan dengan penduduk negeri-negeri geografis - yang semakin tertinggal seiring dengan kemajuan negeri baru ini.
(Bersambung)
Episod Sesudahnya
0 comments:
Posting Komentar