Grafik Harga Dinar dalam Rupiah dan Dollar

grafik harian

Performa Harga Dinar dalam Jangka Pendek & Panjang

Senin, 23 Agustus 2010

Antara Hamburger dan Sate Balibul...


Oleh Muhaimin Iqbal (geraidinar.com)

Di pusat finansial London dahulu ada restaurant dengan nama ‘Satu’ yang menyajikan berbagai masakan Asia Tenggara termasuk dari Indonesia seperti nasi goreng, sate, pisang goreng dlsb. Restaurant elit dalam kategori fine dining ini nampaknya bukan punya orang Indonesia, dan dalam pekerjaan saya yang lama sering ke daerah ini – tidak pernah menjumpai satupun karyawan-nya ada orang Indonesia. Siapapun pemilik restaurant tersebut tidak perlu membayar satu sen-pun ke pemerintah Indonesia, perusahaan di Indonesia ataupun orang-orang di Indonesia meskipun mereka memasak menggunakan resep Indonesia dan nama-nama masakan dari Indonesia.

Demikian-lah berbagai menu masakan Indonesia seperti nasi goreng dan sate mendunia, tanpa negeri ini bisa mengambil manfaatnya satu sen-pun. Hal ini jelas sangat berbeda dengan misalnya bagaimana Hamburger, French Fries (hanya kentang goreng !), Fried Chicken (hanya ayam goreng tepung !) dlsb. masuk menguasai pasar makanan cepat saji di Indonesia.  Bisa saja pengusaha Indonesia membuat restaurant cepat saji dengan menu seperti ini, namun sampai saat ini setiap anak-anak kita makan Hamburger, French Fries , Fried Chicken (orang seusia saya umumnya kurang suka menu tersebut), maka kemungkinan terbesarnya sebagian uangnya akan lari ke pemegang franchise dari makanan-makanan tersebut di luar negeri.

Disinilah ironi itu, ketika orang-orang di negeri yang tergolong miskin ikut menikmati makanan dari negeri-negeri yang tergolong kaya – mereka membayar sebagian dari ongkos makanan tersebut ke negeri kaya melalui system franchise dlsb. Sebaliknya ketika orang-orang kaya di manca negara menikmati menu dari negara-negara miskin, mereka tidak merasa perlu untuk membayar satu sen-pun ke negara miskin yang menghasilkan menu tersebut.

Inilah antara lain ketimpangan ekonomi dunia yang ditimbulkan oleh system ekonomi kapitalis, dimana negara-negara yang maju dengan kapital yang kuat mampu mengatur orang lain untuk mengikuti systemnya. Melalui hak patent, intellectual property right dan sejenisnya mereka mampu menyedot hasil dari setiap makanan cepat saji yang dimakan generasi muda bangsa ini, setiap software yang kita gunakan di rumah maupun kantor-kantor kita, bahkan juga dari setiap mainan ‘game’ yang dimainkan anak-anak kecil di negeri seperti kita.

Lantas apa yang mereka lakukan yang kita tidak lakukan sebenarnya, sehingga terjadi ketimpangan ini ?.  Salah satunya adalah apa yang disebut proses industrialisasi. Ambil contohnya pada perbandingan makanan-makanan dibawah.

Sebelum Hamburger, French Fries , Fried Chicken dan sejenisnya masuk ke pasar Indonesia, menu makanan-makanan tersebut telah menjadi industri di negaranya. Diantara karakter industri adalah adanya standar proses, standar mutu, kelengkapan dan kontinyuitas. Ketika anak kita makan hamburger di salah satu restaurant cepat saji tersebut misalnya, penyajiannya sama dari satu lokasi ke lokasi lain, waktu delivery-nya sama, rasanya sama dan seterusnya. Di sisi supply bahan baku berupa tepung, daging,  saus, sayuran dan segala macamnya juga ada standar yang sama dan masing-masing komponen harus selalu ada di setiap menu.

Bisa saja istri-istri kita membuat makanan-makanan yang lebih enak dari restaurant cepat saji tersebut, tetapi proses industrialisasinya yang tidak mudah untuk membuat makanan yang enak tersebut dalam jumlah banyak setiap hari dan di seluruh negeri. Tetapi tidak mudah  tidak berarti tidak mungkin, bila ada diantara kita yang mau bekerja keras secara team – maka sangat mungkin kita-pun bisa meng-industrialisasi-kan  menu-menu makanan asal negeri ini yang terkenal dengan keragaman citarasa-nya ini.

Untuk sate saja misalnya misalnya, ada puluhan jenis sate di negeri ini yang semua enak-enak. Ada sate Madura, sate Padang, sate Jogja, sate Betawi, sate Tegal dst. Sate Tegal sendiri ada beberapa spesialisasi, diantaranya adalah sate Balibul (dibawah lima bulan) atau bahkan Batibul(dibawah tiga bulan) yang selain sangat enak meskipun dengan bumbu minimalis – hanya kecap dan cabe, dia juga sangat empuk dagingnya.

Lantas bagaimana kalau kita mau meng-industrialisasi-kan sate Balibul misalnya untuk kelak bersaing dengan berbagai makanan cepat saji seperti Hamburger  tersebut diatas, sehingga mampu bersaing di negeri sendiri syukur-syukur bersaing secara global sebagai makanan favorit dunia ?. Diluar menu pendamping seperti nasi goreng dan nasi putih saja, berikut setidaknya pekerjaan yang perlu dilakukan khusus untuk mendukung tercapainya industri sate Balibul ini :

1.     Diperlukan adanya peternakan kambing skala industri, yang setiap hari mampu mensupply kambing-kambing muda dibawah lima bulan dalam jumlah yang mengimbangi demand – bila tidak maka industri sate Balibul akan gagal. Peternakan skala industri ini bisa melibatkan inti dan plasma dari ribuan petani / peternak.
2.     Diperlukan industri pemotongan kambing yang sehat, sehingga menghasilkan daging-daging kambing yang rendah kolesterol – yaitu daging-daging kambing yang telah melalui proses rigor mortis dimana lemak jenuh-nya telah berubah menjadi lemak tidak jenuh.
3.     Diperlukan rantai supply yang mampu menangani bahan baku daging kambing terutama, untuk selalu tersedia dalam kondisi terbaiknya setiap saat diperlukan.
4.     Diperlukan proses standar membakar sate yang bisa diterima secara umum baik dari sisi hygienis dan ergonomis-nya (membakar sate dengan cara yang ada sekarang sangat melelahkan pekerja), maupun menghilangkan efek negatifnya seperti asap yang ngebul dan efek carcinogenic dari arang.
5.     Diperlukan kampanye pemasaran yang luar biasa karena selama ini makanan-makanan dari kambing terlanjur ‘dikambing-hitam’kan sebagai sumber kolesteroldan hal-hal negatif lainnya.
6.     Diperlukan manajemen yang creative dan mumpuni  untuk mengelola jaringan restaurant cepat saji berbasis kambing muda ini.
7.     Diperlukan pengelolaan merek dagang, system franchise, system kendali mutu dlsb. agar sate-sate Balibul yang dipasarkan dimanapun di seluruh Indonesia atau bahkan dunia tetap memiliki standar mutu dan citarasa yang relatif sama – meskipun di berbagai negara ada kemungkinan memerlukan modifikasi rasa.
8.     Dlsb. dlsb.

Bila proses industrialisasi tersebut dapat dilakukan, maka ada peluang di era globalisasi ini nantinya ketika misalnya jaringan restaurant cepat saji bernama Balibul ada di seluruh dunia – sebagaimana Hamburber kini ada di seluruh dunia – setiap warga dunia makan sate Balibul, sebagian uangnya mengalir ke negeri ini dalam bentuk franchise fee , dalam bentuk pembayaran bahan baku, dalam bentuk gaji tenaga kerja ahli dibidang persatean Balibul dst. dst.

Maka itulah buah industrialisasi,  ketika kita berhasil membuat suatu industri – betapapun nampaknya sepele seperti sate Balibul ini misalnya, efeknya terhadap kesejahteraan masyarakat akan luar biasa. Industrialisasi ini pulalah yang selama ini memakmurkan negara-negara yang makanan-nya ikut kita makan, yang software-nya kita pakai sehari-hari, yang filim-film-nya kita tonton dst.

Poin 1 – 8 tersebut diatas bisa dilakukan oleh swasta untuk mewujudkan industri ini; namun ada hal-hal lain yang harus dilakukan oleh pemerintah yaitu ketersediaan infrastruktur industri, perijinan yang mudah, system perpajakan yang menunjang dlsb. Dalam kondisi Indonesia saat ini, mewujudkan industri tersebut masih sangat sulit karena kita adalah negara di urutan 122 dalam hal kemudahan usaha.

Saya justru kawatir, industri-industri semacam ini lahir dari negara-negara tetangga kita meskipun menggunakan menu makanan kita. Singapore misalnya, tingkat kemudahan usaha menempati no 1 di Dunia –jadi sangat mudah melahirkan usaha di sana. Negara tetangga lainnya Thailand di urutan 12,  Malaysia urutan  23 dan bahkan Vietnam saja berada lebih baik dari kita yaitu di urutan 93.  Bila daya saing industri ini tidak ada lompatan perbaikan yang luar biasa dari para pihak yang berwenang di negeri ini, memakmurkan rakyat akan tetap sulit atau bahkan semakin sulit kedepan.

Maka melalui tulisan ini, saya mengajak ribuan pembaca tulisan-tulisan saya untuk mau mulai memikirkan hal-hal kecil tetapi insyaallah berdampak besar dalam konteks memberi makan di hari kelaparan, mumpung ini bulan puasa – kita dapat merasakan betapa tidak enaknya lapar. Bila industri-industri yang sebelumnya tidak terbayang-kan pun terbangun, lapangan kerja insyallah tercipta, ekonomi berputar lebih cepat, impor berkurang dan ekspor meningkat – maka disitulah kemakmuran insyallah akan datang.

Seandainya Allah kelak bertanya ke kita “ mengapa engkau biarkan tetanggamu, sekian banyak penduduk negerimu sampai kelaparan di bumiKu yang gemah ripah loh jinawi – yang didalmnya semuanya telah Aku sediakan ?” , kita inginnya bisa menjawab “Sudah Ya Allah, Aku bekerja keras disiang hari, berdo’a kepadaMu di malam hari, ingin agar aku, keluargaku, tetanggaku dan masyarakat di negeriku terhindar dari rasa lapar  karena miskin Ya Allah; mengenai hasil, itu kuasaMu jua yang menentukan Ya Allah...”. Amin.

0 comments:

Posting Komentar