Oleh Muhaimin Iqbal (www.geraidinar.com)
Beberapa hari lalu saya terlibat dalam brain storming session dengan teman-teman lama dari dunia investasi, keuangan, syariah, praktisi perkebunan, pertanian, peternakan dlsb. Yang menjadi fokus pembicaraan adalah bagaimana perusahaan-perusahaan dari skala kecil, menengah sampai besar bisa mengakses kapital yang adil – langsung dari para investor baik perorangan maupun institusional. Lebih lanjut kami yang terlibat dalam brain storming session tersebut ingin juga berperan dalam memfasilitasi akses terhadap kapital ini.
Untuk memahami problema akses terhadap kapital ini saya ambilkan contoh dua kasus berikut, yang satu perusahaan kecil/perorangan – yang satu lagi perusahaan besar perkebunan – yang keduanya membutuhkan modal yan diluar kapasitas internal mereka. Untuk mudahnya saya beri saja situasi sesungguhnya tetapi dengan nama yang saya samarkan. Untuk perusahaan kecilnya adalah Restoran Cilengsi (RC), sedangkan perkebunan besarnya adalah perkebunan Bumiku Indah Hijau (BIH).
RC adalah restoran di daerah Cilengsi yang popular dikalangan pekerja di daerah ini karena menu khasnya sop daging yang sangat lezat. Restoran ini ditangani oleh keluarga yang pinter masak, tetapi dengan pengetahuan keuangan, pemasaran dan lain sebagainya yang serba terbatas. Walhasil kalau Anda mau makan di restoran RC ini Anda harus datang ke lokasi antara jam 11.00 siang s/d jam 14.00, pada hari kerja. Sebelum jam 11.00 mereka belum buka, sesudah jam 14:00 dagangannya habis.
Mengapa tidak dibesarkan dengan menambah jam kerja dan hari buka sampai hari libur ?, karena keluarga yang sudah beranjak tua ini – tidak mampu lagi bekerja dengan jam yang lebih panjang dan hari kerja yang lebih banyak. Mengapa tidak memperkerjakan orang lain ?, membuka cabang dlsb ?. Selain keterbatasan managerial, keluarga ini juga tidak mau berurusan dengan berbagai proses kredit bank (untuk membeli tempat baru), perijinan dlsb.
Dengan keterbatasan tersebut, restoran yang memiliki potensi begitu besar untuk dikembangkan malah terancam kelangsungan hidupnya bersamaan dengan bertambah tua-nya keluarga pengelola. Akses permodalan perbankan dlsb, tidak diminati karena prosedurnya. Akses membesarkan melalui buka cabang-cabang atau franchise dan sejenisnya juga tidak cocok karena ini menuntut effort yang luar biasa – diluar kemampuan keluarga ini untuk melakukannya.
Lantas pembiayaan seperti apa yang cocok untuk mengembangkan RC ini agar bukan hanya kelangsungan usahanya terjaga, tetapi juga berkembang secara luas ?.
Di dunia investasi ada jenis investasi yang sesuai untuk situasi tersebut yaitu apa yang disebut Private Equity (PE) Investment. Sumber dana dari PE ini bisa dari para individu yang memiliki dana besar, atau bisa juga dari investor institutional. Karena sifatnya privat dan langsung, investasi ini bisa sangat fleksibel dan win-win bagi kedua belah pihak.
Misalnya bisa disepakati dengan pemilik bahwa RC yang asli di Cilengsi sepenuhnya tetap menjadi milik keluarga pendiri dan para ahli warisnya kelak, dengan dibantu system managerial dan pengembangannya oleh investor PE. Sedangkan RC-RC yang berada di berbagai lokasi – dikelola secara professional oleh sebuah perusahaan – dimana pemilik RC aslinya mendapatkan saham tertentu dan sisanya milik investor.
Dengan cara ini RC bisa terus tumbuh dan berkembang – tidak lagi terkendala oleh usia para pendiri dan berbagai kelemahannya juga teratasi.
Untuk contoh kasus kedua adalah BIH yang lokasinya hanya 1 - 2 jam perjalanan dari JORR (Jakarta Outer Ring Road). Perkebunan yang memiliki HGU hampir 1000 Ha ini kondisi-nya antara ada dan tiada, antara hidup dan mati. Pemilik BIH yang dahulu sangat disegani di kalangan perkebunan, kini sudah sangat sepuh dan anak-anaknya tidak lagi berminat untuk mengembangkan perkebunannya. Manajemen yang mengelola perkebunan sebenarnya cukup capable dan berdedikasi – tetapi tidak banyak yang bisa diperbuat karena keterbatasan kapital untuk melakukannya.
Dalam kondisinya yang ada sekarang, BIH tidak bisa mengakses dana perbankan karena alasan administrative serta track record penghasilannya dalam dasawarsa terakhir yang pastinya tidak menarik bagi dunia perbankan. Begitu pula akses kapital melalui Go Public misalnya, jelas nggak akan bisa karena berbagai persyaratan dan peraturan yang njlimet dari otoritas pasar modal – yang pasti tidak bisa dipenuhi oleh BIH.
Lantas apa solusi untuk BIH ini?, lagi-lagi PE bisa menjadi jawabannya. PE tidak harus kaku mengikuti prosedur standar kredit perbankan beserta persyaratan kelayakannya yang diawasi ketat oleh Bank Indonesia. PE juga tidak harus mengikuti prosedur dan persyaratan pasar modal yang biasanya hanya bisa dipenuhi oleh perusahaan yang sudah mapan beberapa tahun.
Fleksibilitas PE memungkinkan misalnya investor menyepakati dengan pemilik BIH awal, bahwa investor akan mendatangkan modal sejumlah tertentu dengan imbalan ikut memiliki saham perkebunan BIH dengan share tertentu. Konsekwensi dari kepemilikan saham ini, pihak investor juga dapat menempatkan orang-orang yang professional di bidang perkebunan – untuk mengolah potensi yang ada secara optimal.
Saham pemilik yang lama turun, tetapi penghasilannya insyallah malah naik beberapa tahun kedepan. Dan yang jelas kelangsungan hidup BIH tidak lagi tergantung pada keluarga pemilik asal dan keturunannya. Negara diuntungkan karena tanah HGU yang sejatinya milik negara dimaksimalkan hasilnya. Rakyat di sekitar lokasi juga diuntungkan karena lapangan kerja yang akan terus tumbuh.
Dari dua contoh kasus tersebut dapat kita lihat keunggulan PE dalam mengatasi masalah permodalan sekaligus juga masalah keahlian dalam pengelolaan usaha. PE dapat menjadi solusi untuk usaha-usaha yang tidak dapat mengakses kredit perbankan oleh berbagai sebab, dapat pula mengatasi perusahaan yang mau berbagi saham tetapi tidak bisa go public – juga karena berbagai alasan.
Namun PE juga bukan tanpa kelemahan. Bagi investor PE tentu lebih berisiko dibandingkan menaruh uang di bank dalam bentuk deposito misalnya. PE juga lebih sulit dilakukan oleh investor ketimbang membeli saham di bursa saham melalui broker.
Oleh karena kelemahan-kelemahan tersebut dan juga relatif baru-nya bentuk investasi jenis ini; maka diperlukan team yang secara komprehensif menguasai seluk beluk objek investasi – sekaligus juga seluk beluk pengelolaan asset dan keuangan. Team yang kurang lebih terwakili oleh para peserta brain storming session yang saya ungkapkan diatas.
Hasil dari brain storming session tersebut, insyallah akan kami wujudkan menjadi perusahaan konsultan investasi yang fokusnya pada private equity ini. Melalui konsultan ini-lah nantinya perusahaan-perusahaan kecil maupun besar yang perlu modal untuk membesarkan usaha, namun tidak mau/tidak bisa menggunakan perbankan ataupun pasar modal dapat memperoleh solusinya. Selain mendampingi perusahaan atau pengusaha yang membutuhkan investor, konsultan ini juga akan dapat mendampingi investor dalam mencari objek investasi.
Private Equity yang sifatnya mengelola usaha secara bersama dengan berbagi hasil dan berbagi risiko, juga sangat pas dengan model pembiayaan musyarakah yang sudah di-fatwa-kan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) – MUI sejak 10 tahun lalu (Fatwa no 08-/DSN-MUI/IV/2000) – namun belum banyak disosialisasikan oleh lembaga-lembaga keuangan syariah yang ada dalam bentuk produk-produk pembiayaan yang dibutuhkan umat.
Maka insyaAllah dengan adanya konsultan yang fokus pada private equity yang syar’i ini dapat menjadi alternatif penyaluran dana-dana umat yang sekarang mulai over liquid di berbagai institusi keuangan syariah – karena masih terbatasnya penyaluran mereka. Ini juga bisa menjadi solusi bagi individu muslim yang memiliki banyak dana idle – namun tidak tahu harus berbuat apa agar dananya bermanfaat bagi masyarakat luas.
Semoga Allah memudahkan kita pada amal shaleh yang diridloiNya.
0 comments:
Posting Komentar